Kawah Ijen, Salah Satu Blue Flame Terkenal di Dunia


Banyuwangi, sebenarnya merupakan salah satu kota yang belum pernah terlintas di pikiran saya ketika memikirkan kata ‘liburan’. Namun, ternyata alam berkata lain dan membawa saya ke sana bersama seorang teman petualang, Rachel Vanessa. Tujuan pertama kami adalah Kawah Ijen, lokasi pendakian yang sering dituju banyak turis asing untuk melihat…..api biru. Ya, gumpalan api biru menyala di tengah kawah yang diselimuti dengan asap belerang. Seorang teman mengatakan bahwa hanya ada dua tempat di dunia untuk bisa menyaksikan “Blue Flame” yang terkenal ini, yaitu di Iceland dan Banyuwangi.


The Blue Flame Ijen, diambil oleh Natgeo.

Betapa bangganya saya ketika mengetahui kekayaan Indonesia tersebut, adrenalin langsung menyambar disertai teriakan ringan “KITA HARUS KE SANA, CHEL!”. Tanpa peduli bahwa saat itu (November 2014) adalah musim hujan, tanpa peduli bahwa pendakiannya akan dilakukan pada tengah malam, tanpa peduli bahwa ini adalah kali pertama saya mendaki, tanpa peduli bahwa kami ke sana menempuh jalur kereta yang melelahkan, dan tanpa peduli bahwa kami berangkat berdua saja, perempuan-perempuan dengan ukuran tubuh semungil Bilbo Baggins. (Yah, enggak segitunya juga sih yah?)

Dari pusat kota Banyuwangi, kami harus melakukan perjalanan dengan mobil untuk menuju gerbang masuk Kawah Ijen. Pukul 00:25 kami keluar dari pusat kota dan menempuh perjalanan kurang lebih selama 1,5 – 2 jam. Rute jalannya mirip seperti perjalanan menuju Puncak, namun bebas macet. Cuaca dingin, suasana pegunungan yang gelap dengan jalan berkelok-kelok tajam sempat membuat saya dan Rachel terdiam beberapa lama. Entah pada saat itu kami sedang menahan gas perut atau mungkin sedang memikirkan bahwa tidak ada kata mundur dari pendakian ini.

Sekilas tentang Kawah Ijen, terlepas dari sebutannya adalah Gunung Ijen atau Kawah Ijen, gunung berapi yang masih aktif ini memiliki ketinggian 2.443 m dan tercatat sudah empat kali meletus. Dan si “Blue Flame” yang kami nantikan itu berada di tengah kawah dengan bentuk serupa danau yang menghasilkan asam belerang menyengat. Letaknya ada di puncak gunung dengan kedalaman 200 meter dan luas kawahnya sendiri bisa mencapai 5500 hektar. Jika ingin melihat api biru menyala di tengah kawahnya, maka usahakan untuk tiba di puncak gunung mulai dari pukul 02:00 – 04:00 dini hari karena harus turun lagi ke kawah sekitar 250 meter. Ya, dan karena itulah kami memutuskan untuk mendaki tengah malam.








Foto ini diambil saat pagi hari dan kami sudah turun dari pendakian baru kelihatan.

Begitu sampai di pintu masuk, langsung terasa nuansa ramai di sekitar kami, ada begitu banyak orang yang tengah bersiap-siap mendaki juga. Dengan penglihatan cukup gelap, hanya bisa ditolong dengan senter, saya sempat melihat banyak turis asing dari Jerman, Perancis, Jepang, hingga Australia. Perbedaan yang mencolok adalah, tentu saja ukuran tubuh. Rata-rata mereka membawa backpack dan trekking pole (sebuah tongkat untuk membantu pendakian).


Berhati-hatilah dengan batang kayu ini di tengah pendakian yah.


PEMBERHENTIAN PERTAMA: Pintu Gerbang Utama Cagar Alam Taman Wisata Kawah Ijen.

Di dekat pintu gerbang ini, kami bisa mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Ada toilet umum dan juga beberapa toko kelontong yang menjual makanan, minuman, senter, hingga sarung tangan tebal. Harga sepasang sarung tangan adalah Rp 7.000, dan saya takjub karena harganya lebih murah daripada beli di Pasar Baru. Percayalah. Kantor pos PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) menjadi tempat dimana kami harus membeli tiket. Harga tiket masuk untuk turis adalah Rp 100.000, sedangkan untuk pendatang lokal (Banyuwangi) seharga Rp 5.000. Untungnya pada saat itu kami ditemani oleh teman lokal yang tinggal di Banyuwangi, jadi tiket kami 200% lebih murah daripada turis asing. HAHAHA! Terima kasih Septian! Di gerbang start ini, ada beberapa pemandu lokal yang menawarkan jasa mereka. Mereka siap membantu untuk menunjukkan jalan dan juga membawa masker gas jika kami ingin turun ke kawah dan melihat si api biru, karena nyala apinya tidak terlihat dari atas kawah. Biayanya? Tentu saja, Rp 200.000 untuk satu orang pemandu. Kami sudah memiliki Septian dan Irfan, jadi saya merasa yakin kami bisa mendaki tanpa pemandu. Akhirnya kami melangkah maju bersama dua pasukan ramai yang membawa banyak tas koper dan tas kamera besar. Terlintas oleh saya, “Oke, mereka mungkin rombongan Natgeo.”


Pos penanda setengah jalan.

PEMBERHENTIAN KEDUA: Setelah melangkah di pijakan ke…entahlah, ke-100 mungkin?

Begitu masuk, memang langsung mendaki dan tidak datar sama sekali. Sekedar info, dibutuhkan waktu 2 jam untuk bisa mencapai puncak gunung. 2 jam itu adalah ukuran standar mendaki untuk pria yang fit. Saya langsung mencatat jam mulai pendakian, pukul 01:52 WIB. Jarak yang kami daki sekitar 3 km dengan pembagian 1,7 km menanjak tajam dengan kemiringan 25-35 derajat. Jika sudah setengah perjalanan, akan terlihat sebuah pos dengan rumah besar berwarna merah dan hijau dengan timbangan besi di tengahnya. Tentu saja, saat mendaki tengah malam, rasanya jadi buta warna, namun ketika turun di pagi hari, pastikan untuk melihat pos pemberhentian ini.


Ini adalah Bapak Edi yang membawa keranjang belerangnya secara estafet! Salut!

TIPS:
1) Suhu udara di sini bisa mencapai 2 derajat celcius, maka pastikan untuk menggunakan masker, sarung tangan, dan jaket tebal rangkap dua (atau tiga). Untuk pengguna kacamata, mungkin sebaiknya dilepas karena akan berembun. Namun, tidak disarankan juga untuk menggunakan contact lens karena pada bulan-bulan tertentu, anginnya cukup kuat berhembus.
2) Pastikan makan yang cukup namun tidak kekenyangan 1 jam sebelum pendakian. Hal ini disarankan oleh seorang bapak di tengah perjalanan karena banyak kasus terjadi (khususnya wanita) yang pingsan di tengah pendakian akibat tidak kuat atau belum makan. 
3) Tarik napas melalui hidung dan hembuskan melalui mulut. Jika butuh istirahat, lakukan 30-10 (istilah buatan saya sendiri) yaitu melangkah atau mendaki 30 langkah, lalu beristirahat 10 menit. Lebih baik mendaki lambat namun selamat daripada memaksakan diri kemudian terancam pingsan kan?
4) Gunakan sandal gunung atau sepatu yang tidak licin. Karena medan pendakiannya cukup miring dan tidak ada pijakan yang pasti, bahkan tidak berbentuk serupa tangga sama sekali (ya iyalah). 
5) Di sepanjang pendakian, kami berpapasan beberapa kali dengan para penambang belerang. Mereka menggunakan sepatu boot dan membawa dua keranjang pikulan seberat 80kilogram belerang di pundaknya. Cobalah untuk mengobrol dengan mereka karena semuanya adalah supporter mendaki yang baik dan seru! Salut untuk salah satu penambang yang bernama Bapak Edi, beliau estafet membawa empat keranjang secara bergantian. Memang membutuhkan waktu dua kali lebih lama ketimbang rekan-rekannya yang lain, namun dia juga membawa hasil dua kali lipat lebih banyak dalam satu kali perjalanan. 
6) Ketika beristirahat, pastikan untuk melihat langitnya. BINTANG BINTANGNYA BANYAK BANGETTT! Saya cukup norak waktu menengok ke atas, rasanya dekat sekali sama Surga (oke, itu berlebihan). Tapi, serius, pastikan untuk bersenang-senang dan jangan lewatkan keindahan bintangnya yang melimpah ruah.
7) Pemilihan waktu terbaik sebenarnya adalah saat musim kemarau, yaitu di bulan Juli hingga September. Namun, di musim kemarau justru berangin dan pasirnya cukup mengganggu pendakian. Jika berani nekat, mendakilah saat musim hujan (tapi lihat curah hujannya terlebih dulu), karena musim hujan justru menghilangkan pasir dan kabut sulfur tidak terlalu tinggi tertiup anginnya. Oh, dan langitnya sangat cerah di musim hujan, bintang-bintangnya berhamburan!


Tips lain: bawalah tongsis. Mari bernarsis! (behind the scene)

Hasil berfoto dengan tongsis.


PEMBERHENTIAN KETIGA: Pos Istirahat.

Akhirnya, penanda setengah perjalanan. 50% lagi! Mulai dari sini, pendakiannya sudah tidak terlalu curam. Jika sudah mencapai 2/3 perjalanan, akan sedikit tercium aroma belerang secara samar-samar. Saya sih tidak bisa mencium aromanya karena hidung terlanjur mampet rasanya. Jika sudah pagi hari, maka bisa kelihatan bentuk pos bundar ini. Di sini lah para penambang belerang menimbang hasil kerja mereka, yang rata-rata minimalnya adalah 80kilogram. Belerang tersebut bisa dilelehkan dan dibentuk menjadi cinderamata dan sabun. Salah seorang penambang belerang bernama Bapak Hidayat menunjukkan kepada saya seperti apa bentuk api birunya. Dia membakar belerang kecil dan berubah menjadi api biru. Gumpalan seperti itulah yang memenuhi kawah, cantik! Sempat terlontar sebuah pertanyaan oleh saya, "Kira-kira ada calon pengantin yang foto pre-wed di sini nggak yah? Daki gunung sambil bawa bawa gaun gitu.." dan dijawab oleh Rachel, "Kayanya sih keburu tepar sebelom nyampe atas..". Bener juga. Saya semakin tidak sabar untuk mencapai puncak gunung!

Seperti inilah kawahnya yang jernih. Courtesy photo by Ms Daily Life.


PEMBERHENTIAN YANG DITUNGGU-TUNGGU: GUNUNG IJEN!

Kami akhirnya sampai di puncak gunung pukul 04:59 WIB, dengan waktu kurang lebih 3 jam mendaki, hilang sudah kesempatan melihat si api biru. Tapi, kalaupun kami sampai tepat waktu, rasanya kami tetap tidak bisa turun ke kawah karena tidak ada masker gas. Kami langsung bersorak gembira karena bisa menikmati MATAHARI TERBIT! Sumpah bagus banget! INDAH BANGET! Terpana beberapa lama di tepi gunung, kemudian kami melangkah mendekat ke kawah dan duduk di pinggirnya. Melihat kepulan asap belerang yang naik secara perlahan seperti kabut. Menengok ke kiri dan kanan, melihat banyaknya wajah gembira dan puas dari para wisatawan asing dan juga gerombolan lain, ada kru syuting! Ternyata beberapa orang yang mengobrol dengan kami di tengah pendakian adalah artis, maklum saja, semuanya gelap. Sebuah gunung langsung menarik perhatian saya karena bentuknya seperti lokasi syuting The Hobbit! Gundukan bunga edelweiss dan cemara gunung berwarna hijau, merah marun hingga kehitaman memenuhi salah satu sisi gunung. Sulit dideskripsikan dengan kata-kata, semua rasa lelah terbayarkan begitu mencapai puncak Gunung Kawah Ijen. Luar biasa!! Sebuah perasaan yang sangat luar biasa bisa sarapan di dekat puncak gunung. Jika udara tidak sedingin kulkas, rasanya saya ingin duduk dua jam penuh hanya untuk menikmati pemandangan di sekeliling saya sepuasnya. Mendaki memang tidak mudah, namun bisa dilakukan. :) Selamat menikmati foto-fotonya! 



Matahari terbit di puncak gunung Ijen, semburat ungu bercampur jingga yang super cantik!

 Gerombolan kru syuting dan artis. Coba tebak ada siapa saja hayoo? 



Familiar dengan wajah ini? Ryan Delon mungkin yah? 

Dingin! Tapi girang, hahaha! 

Mirip lokasi syutingnya The Hobbit!

GIRANG MAKSIMAL!





Pose kreatif dari mas Irfan, boleh dicoba!

Ekspresi tawa bahagianya mas Irfan sih super pol!





Asap sulfurnya mulai naik setelah melewati subuh hari.







 Sebagian lahan hutannya kena dibakar, jadi masih tandus.

 Lihat lebih dekat ke batang kayunya, dicoret-coret orang tidak bertanggung jawab!







 Manfaatkan cahaya matahari pagi buat foto bayangan, ha!

 Bukan Red Riding Hood, ini sih namanya Grey Riding Hood!







Bayangin, mendaki tengah malam dan dikelilingi ranting seperti ini, rasanya........

Ada beberapa lokasi yang batang pohonnya melintang jadi hati-hati yah!

 Sekilas, awalnya saya pikir ini Dandelion!









"Halo, Pak Edi!"





 Entah siapa yang foto ini, terima kasih loh, candid yang bagus *tawa lebar*

See you again, Ijen! Saya ingin ke sana lagi!


Sampai jumpa lagi Septian Abdi, Irfan Tri, dan Rachel Vanessa! HORE!

Comments

Unknown said…
Mantap!!!
Mbaca artikelmu bisa senyum2 sendiri..
Hehehehehe
Unknown said…
Ayo kesana lagi.. sekarang uda tau medannyaa.. hahahaa.. *sambil lari2 di GBK*
Unknown said…
Siapkan fisik dan mental dulu chel (terutama fisik) hahahaha...
Next time harus sampai ke blue fame atau ke balik gunungnya.. Hehehe
Miss Martana said…
Hahahaha, senang bisa menghibur lewat tulisan saya *loh?
Unknown said…
Hhahahaa...dia udah main lari-larian aja di GBK tu pak :D
Unknown said…
Ijin share yah mbak... :))
Miss Martana said…
Iyaa dongg, monggooo :D :D
IjenTamansari said…
Jelajah wisata Indonesia, Dapatkan liburan murah ke Kawah Ijen Banyuwangi, menikmati langsung fenomena Blue Fire Ijen, Sunrise Ijen, keindahan Danau Kawah Ijen.
Ijen Crater / Kawah Ijen Banyuwangi Tour
Kawah Ijen Morning Tour
Ijen Blue Fire Tour / Api Biru Tour
Mount Bromo Tour
Bromo Ijen Tour
Ijen Baluran Tour
Halo Mbak Martana,saya mau nanya nih bagaimana ke Kawah Ijen-nya baik-baik disanakan?
Miss Martana said…
Hello mas Farid,

waktu itu saya kebetulan bareng dengan temen-temen yang memang tinggal di Banyuwangi. Kita berangkat dari kota jam 12 malam, sampai di bawah kaki Ijen sekitar jam 2 subuh, dan mulai mendaki.

Baik-baik saja di sana :) cukup banyak yang mendaki juga, jalanannya pun terbilang mudah untuk pendaki pemula. Semangat dakinya!!

Popular Posts