Mengenal Street Food Indonesia Lewat Teknologi

2013, ini adalah tahun dimana setiap terobosan terbaru bermunculan. Sebut saja gadget iPhone 5, Samsung Galaxy S4, dan masih banyak lagi. Teknologi yang semakin tinggi dan canggih akan menjadi satu batu loncatan yang baik jika diselaraskan dengan kepekaan kita terhadap bidang lainnya, seperti wisata kebudayaan dan warisan kuliner Indonesia. Street food misalnya, sebagai salah satu roda penggerak besar yang mampu menyumbang pendapatan bagi para penjualnya. Dan dalam postingan ketiga ini, saya ingin membagikan pandangan saya dari sisi berbeda mengenai street food di Indonesia.


Sangat dekat dengan keseharian kita namun street food mungkin nampak terabaikan, apalagi bagi mereka yang tinggal dan besar di dalam lingkungan perumahan mewah atau apartemen. Pernahkah terpikir, ketika melewati tukang penjual makanan kaki lima, ada berapa banyak omset yang mereka dapatkan dalam sehari? Semakin maraknya mall-mall besar di ibukota yang berlomba-lomba menyuguhkan variasi makanan memang memberi dampak bagi para pecinta kuliner untuk memilih. Di dalam mall, kebersihannya memang kelihatan lebih baik jika dibandingkan makanan pinggir jalan yang bercampur dengan debu jalanan atau asap kendaraan bermotor. 



Bahkan kini telah banyak jenis makanan street food yang bisa kita temukan di dalam mall, coba lirik Eat & Eat misalnya. Mengangkat tema klasik dari tatanan dekorasi interior hingga deretan stall di dalamnya, tak jarang kita temukan penjual jajanan street food di pojokan area dengan gerobak dan kursi pendeknya. Memasuki area seperti ini seakan membawa kita kembali ke masa dulu, ada jajanan Rujak Bebeg dan Gulali yang sering kita coba saat kecil. Menawarkan jajanan street food di dalam mall dengan harga yang sedikit lebih tinggi dibandingkan penjual di jalanan, namun peminatnya tetap banyak. Hal seperti ini membuktikan bahwa street food memang memiliki tempat tersendiri di dalam hati masyarakat. 



Untuk memberi perbandingan lebih jelas dari segi harga, seporsi Rujak Bebeuq di dalam kawasan mall, kita bisa merogoh kocek hingga 15.000 rupiah sampai 20.000 rupiah. Sedangkan jika membeli Rujak Bebeg di pinggiran jalan, cukup dengan 7.000 rupiah, atau bahkan paling mahalpun hanya 10.000 rupiah per porsi. Dengan bahan buah-buahan segar dan bumbu yang serupa, namun perbedaan harganya bisa hampir dua kali lipat. Saya sih lebih memilih membeli Rujak di pinggiran jalan daripada di mall, entah kenapa rasanya lebih maksimal dan lebih menggiurkan di lidah!

Sebenarnya, jika melihat perbedaan harga seperti ini, justru ada satu kesimpulan yang bisa saya tarik, bahwa street food di Indonesia mampu menjadi tempat untuk mendulang uang bagi negara. Tak jarang kita temukan usaha kecil menengah berawal dari street food, seperti misalnya Pisang Goreng Pasir yang sempat laris dimana-mana. Kelebihan street food ini karena bahannya yang sangat sederhana dan murah, namun teknik memasaknya mampu membuat hasil racikan menjadi lezat! Nah, dari sisi inilah saya merasa bahwa semua orang bisa saja membuka usaha kuliner kecil-kecilan mereka dari street food, karena tanpa perlu terbentur modal yang tinggi.

Selain modalnya yang murah, rasanya yang enak, street food di Indonesia tetap membutuhkan cara agar bisa lebih dikenal oleh dunia luar. Dalam era teknologi digital seperti sekarang ini, jelas tidak mungkin bila kaum muda saat ini tidak memiliki akun Social Media. Setelah Facebook, semua orang juga langsung melanjutkan gaung Twitter. Social Media yang satu ini efektif dan efisien untuk mempromosikan street food di Indonesia, karena mampu meng-upload foto apapun dan langsung bisa diakses serta dilihat oleh negara-negara lain. Penggunaan tagar (atau yang lebih familiar kita sebut dengan hashtag), penulisan kata #food di Twitter hampir jutaan banyaknya setiap hari. Tanpa perlu membutuhkan waktu yang lama, foto street food Indonesia bisa menyebar ke seantero mata dunia.


  
Instagram, dengan skala yang menyentuh cakupan semua negara, akun yang memberikan fasilitas upload foto ini juga termasuk salah satu media efektif untuk mempromosikan street food Indonesia. Tak jarang saya menemukan komentar kagum dari orang asing ketika mereka melihat ragam kuliner di Indonesia. Jelas saja, mulai dari warna hingga bentuknya, street food di Indonesia memiliki variasi yang sangat berlimpah! Coba saja buktikan dengan pencarian tagar #streetfood di Instagram dan lihat ada berapa banyak foto yang menggiurkan disana! Cara yang paling tepat untuk memancing ketertarikan masyarakat dunia terhadap ranah kuliner adalah melalui visual (foto).

Sedikit memberikan perbandingan dengan negara Asia lain, Thailand juga dikenal dengan street foodnya yang sangat berani, seperti Kecoa Goreng dan lainnya. Namun di Indonesia sendiri, kita punya beberapa jenis street food istimewa yang hanya tersedia pada rentang waktu tertentu, misalnya Kerak Telor. Makanan khas Betawi ini hanya bisa kita temukan ketika menjelang hari ulang tahun kota Jakarta dan di sekitaran wilayah PRJ. Lihat kan betapa spesialnya street food yang satu ini?

Ah, topik yang menarik dari Femina Foodlovers Blog Competition 2013! Untuk menutup postingan yang ketiga, saya ingin menuliskan terima kasih kepada Femina atas terselenggaranya kompetisi ini. Saya jadi lebih banyak mengulik tentang street food dan semakin cinta Indonesia! Semoga setiap pihak yang memiliki power dalam bidangnya mampu membantu street food Indonesia agar semakin dikenal dan dilestarikan lebih baik lagi. Sebagai salah satu anak muda dengan seabrek aktivitas, saya pun tidak pernah lepas dari street food Kue Cubit untuk menemani sarapan santai di kantor. Apa yang bisa dilakukan oleh kaum muda tentunya dengan terus menularkan semangat positif, etos kerja keras yang sehat, serta menampilkan citra bangsa yang baik melalui berbagai cara, lewat akun Social Media tentunya. Siapapun pemenang yang dipilih Femina dalam kompetisi ini nanti, semoga dapat maksimal dalam menikmati semua sajian street food berbagai negara di World Street Food Congress yang pertama kali di Singapura. Good food will gain good mood! Cheers!

“When people wore hats and gloves, nobody would dream of eating on the street. Then, white golves went out of style and, suddenly, eating just about anything in the street became OK."


Jane Addison, quoted in the ‘Great Food Almanac’ by Irena Chalmers~

Comments

Popular Posts