Nepal: Never Ending Peace And Love


Sudah satu tahun berlalu sejak keberangkatan saya bersama tim Terralogical menjelajahi Nepal. Jika melihat ke belakang kala itu, ada satu hal yang membuat saya tersenyum simpul ketika mengingat rencana perjalanan tersebut, yaitu saat pertama kali kami semua melakukan voting untuk memilih negara mana yang ingin kami jejaki. Pilhannya adalah Jepang atau Nepal. Suara mayoritas pada saat itu jatuh ke negeri sakura. Kami pun mulai memikirkan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk ke sana karena akan menghadapi musim salju. 

Seiring waktu berlalu, timbul pertimbangan-pertimbangan lain. Nepal, pada saat itu, sedang berada dalam kondisi memulihkan diri sehabis terkena bencana gempa bumi. Mereka lebih membutuhkan kedatangan para turis untuk menghidupkan kembali industri travelnya, alhasil suara bulat pun retak dan berubah arah menuju Nepal. 


Jika ada pepatah mengatakan, “Everything happens for a reason,” hmmm mungkin itulah yang cocok untuk melatarbelakangi perjalanan kami ke Nepal. Jangkar sudah diturunkan, alias tiket sudah dibeli, tidak ada kata mundur setelah itu. Dengan membawa misi untuk menyumbangkan sebagian rejeki yang didapatkan oleh Terralogical bagi para koran bencana gempa bumi, kami pun berangkat ke Nepal.

Selama 10 hari lamanya kami berada di sana, berpindah ke tiga wilayah berbeda. Dimulai dari Kathmandu, kemudian menuju Pokhara, Sarangkot, Chitwan, dan kembali lagi ke Kathmandu. 





(Dhargey Inn, tempat menginap pertama)

  • Kathmandu.
Walaupun memiliki gelar sebagai ibukota Nepal, namun di kota ini justru saya melihat cukup banyak bekas luka setelah kejadian gempa bumi pada April 2015 lalu. Di beberapa tempat wisata, bangunannya sedang dalam tahap renovasi, di sebagian jalan besar pun masih tertutupi lapisan debu akibat mobilisasi pengangkut bahan-bahan bangunan. Namun demikian, setiap sisi jalan di kota ini selalu terlihat fotogenik. Setiap guratan wajah penduduk di Nepal seakan menyimpan kisahnya masing-masing. Seorang pria paruh baya yang tengah merokok di pinggir jalan saja bisa menjadi sasaran foto bagi para pria Terralogical. Tak heran, mereka semua memiliki jiwa street photographer di dalam urat nadinya.









































Kami mengunjungi Boudhanath, Bhaktapur Durbar Square, dan Syawambhunath. Perjalanan menuju Bhaktapur kami tempuh sembari menyaksikan pemandangan yang ironis di beberapa sudut, misalnya sebuah toko bunga dipenuhi dengan warna-warni cerah namun berada di tengah bekas reruntuhan gedung. Rasanya seperti melihat sebuah sketsa nyata dari alam mimpi. Saya juga menyadari betapa seringnya saya menemukan anjing-anjing liar namun lucu di setiap jalan. Wah, Nepal, betapa bahagianya kalian!









  • Pokhara.
Di hari ketiga, kami menuju Pokhara menggunakan jalur darat selama kurang lebih 8 jam. Ya, benar sekali, menempuh jalur darat, dengan mobil van berisikan 15 orang (termasuk tour guide kami, Expansion Dahal, intro beserta kedua anaknya, dan sang driver). Selama perjalanan, kami juga melihat keadaan di sekitar sembari sesekali bermain tanya jawab di dalam mobil van. Semua dilakukan agar tidak terasa betapa lama dan seberapa jauh perjalanan yang kami tempuh. Salut kepada sang supir yang jarang sekali makan atau bahkan berhenti untuk beristirahat, ck ck! 


(Phewa Lake)


Pokhara merupakan kota terbesar kedua di Nepal, dan bisa saya katakan bahwa kehidupan di sini lebih tersentuh modernisasi. Kami berpencar mengitari Pokhara, saya bersama gerombolan perempuan berhenti sejenak di sisi Phewa Lake, danau jernih dengan pemandangan bukit di sisi seberangnya. Sebuah tips jika sempat mengunjungi Pokhara, di salah satu bagian dekat Phewa Lake, terdapat barisan toko yang menjual kain khas Nepal, terbuat dari bahan ganja. Bisa menjadi salah satu ide untuk oleh-oleh, selain bahan kain linen.  


  • Sarangkot.
Setelah beberapa hari puas berdiam di Pokhara, kami melanjutkan perjalanan ke Sarangkot untuk melihat Annapurna Himalaya. Setibanya kami di Sarangkot, udara dingin kian menusuk tulang, karena posisi kami saat itu sudah sangat dekat dengan pegunungan Himalaya. Kami berada tepat di seberang gunung! Suhu cuaca pun menunjukkan angka minus 2 derajat.  







Himalaya sendiri adalah sebutan untuk barisan pegunungan yang melintang di Asia, memisahkan anak benua India dari dataran tinggi Tibet. Disanalah tempat gunung-gunung tertinggi di dunia berbaris, yaitu Gunung Everest dan Kanchenjunga. Dalam bahasa Sansekerta, "Hima" yang berarti salju, dan "aalaya" artinya tempat kediaman, maka tak heran jika Himalaya adalah sebuah tempat kediaman salju. Cuaca dingin perlahan mampu kami atasi dengan berkumpul mengelilingi api unggun saat malam hari. Iringan lagu Bon Iver diputar tak jauh dari tempat kami duduk. Kami pun tidur lebih awal karena esok subuh harus menuju ke puncak Sarangkot untuk melihat matahari terbit dari sisi pegunungan Himalaya. Sayangnya, cuaca hari itu mendung sehingga kami tidak mendapatkan pemandangan yang jernih. Masih tak menyerah, esok subuh kami mencoba lagi dan syukurlah cuaca lebih terik sehingga perlahan namun pasti matahari terbitnya dapat kami nikmati. Hore! Ada satu pengalaman yang tak terlupakan ketika berada di Sarangkot, yaitu mencoba Paragliding! Sebagai salah satu manusia yang takut dengan ketinggian, saya tadinya memutuskan untuk tidak naik Paragliding. Namun karena satu dan lain halnya yang diucapkan oleh Bonjo, akhirnya saya memberanikan diri. Terjun dari atas bukit tandem bersama pemandu Paragliding, diawali dengan teriak-teriak sampai akhirnya bisa tenang dan mulai menikmati pemandangan yang biasa dilihat burung rajawali. (Oh, ini bukan iklan untuk Rajawali Citra Televisi kok) Hanya berselang 20 menit kemudian sampai akhirnya saya merasa mual dan minta mendarat. Muntah di daratan dengan wajah setengah pucat. Menyesal? Tidak sama sekali!  






















Kathmandu, Pokhara, dan Sarangkot. Ketiga tempat itu memberikan saya pengalaman yang (saya harap) tidak akan terlupakan. Maka dari itulah saya menuliskannya di sini. Nepal, kini memiliki tempat tersendiri di hati saya. Dal Bhat dan Momo (makanan khas Nepal), Phewa Lake dan Sarangkot masih membekas di ingatan hingga saat ini. Walaupun ada juga tempat lainnya yang kami kunjungi, yaitu Chitwan, kami mengelilingi hutan kecil dan melihat tempat penangkaran gajah. Saat malam harinya, kami menyaksikan acara tradisional mereka, yaitu Peacock Dance di Sauhara Tharu Culture House. Expansion sempat setengah bercanda kepada saya, mengatakan bahwa Nepal juga dikenal dengan negara perayaan. Terdapat lebih dari 50 festival di Nepal! Jika boleh saya menitipkan sebuah "wish" di dalam cerita ini, saya berharap suatu hari nanti bisa kembali mengunjungi Nepal lagi saat mereka merayakan festival untuk memberkati anjing-anjing liar, yaitu Kukur Tihar Festival. Sebuah acara perayaan dimana setiap anjing di Nepal akan dikalungi bunga dan diberkati, sebagai ucapan terima kasih kepada mereka atas kesetiaannya menjadi teman manusia. Well then, I guess, see you again Nepal!























*Semua foto diambil menggunakan kamera Ricoh GR 1, tanpa editan sama sekali.

Comments

Popular Posts